Sabtu, 30 Maret 2013

MK Batalkan Aturan Kriminalisasi Hakim

Posted by BEM FH Unsoed On 12.57

Para hakim yang menangani perkara anak boleh bernafas lega. Mereka tak perlu lagi khawatir dijerat sanksi pidana jika tak berupaya mendamaikan perkara dimana anak menjadi pelakunya. Mereka juga tak perlu takut diberi sanksi pidana jika tak segera mengeluarkan anak jika masa tahanannya habis. Atau tak perlu takut juga dijatuhi sanksi pidana bila tak segera memberikan petikan dan salinan putusan perkara anak.
Hal ini terjadi setelah MK membatalkan tiga pasal dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengatur sanksi pidana bagi hakim jika melakukan tiga pelanggaran seperti disebut di atas. Yaitu Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 UU SPPA.  
“Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101 UU SPPA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tutur Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (28/3).
Permohonan ini diajukan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang menilai ketiga pasal itu potensial melanggar prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas teknis yudisialnya di sistem peradilan pidana anak. Menurut IKAHI, ketentuan itu merupakan hukum acara untuk menegakkan hukum materil pidana anak yang seharusnya tidak bisa dipidana.
Kalaupun ada pelanggaran terhadap hukum acara, IKAHI berpendapat konsekuensi yang mesti ditanggung hakim adalah sanksi administratif. Sebab termasuk ranah pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang merupakan kewenangan MA dan KY. Dalam permohonannya, IKAHI minta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.  
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memperoleh jaminan konstitusional berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dalam penyelenggaraan peradilan yang merdeka. Kemerdekaan ini mewajibkan hakim melaksanakan fungsinya agar tidak terpengaruh oleh siapapun.
“Kekuasaan kehakiman melarang setiap kekuasaan extra yudisial mempengaruhi atau lebih-lebih lagi turut campur kepada hakim sebagai pelaksana pelaksana kekuasaan kehakiman,” tutur Hakim Konstitusi, Achmad Sodiki saat membacakan pertimbangan putusan.
Ditegaskan Mahkamah, Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101 UU SPPA yang menentukan ancaman pidana, bukan saja tidak merumuskan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Tetapi juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif.
“Ini tentunya memberikan dampak negatif terhadap pejabat-pejabat khusus yang menyelenggarakan SPPA,” lanjut Sodiki.
Menurut pandangan Mahkamah ketentuan pasal itu merupakan dampak negatif psikologis yang tidak perlu yakni berupa ketakutan dan kekhawatiran saat mengadili suatu perkara. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kontraproduktif dengan maksud penyelenggaraan SPPA dengan diversinya secara efektif dan efisien dalam rangka keadilan restoratif.
Kuasa hukum pemohon Lilik Mulyadi merasa bersyukur dengan dikabulkannya pengujian UU SPPA ini. “Kami dari MA dan IKAHI mengucapkan puji syukur karena MK telah membenarkan argumentasi terkait adanya kriminalisasi hakim dalam Pasal 96, Pasal 100, Pasal 101,” kata Lilik usai sidang pembacaan putusan.
Namun, putusan MK masih menyisakan satu pertanyaan. Pasal 96 menyebutkan penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tidak melaksanakan Pasal 7 ayat (1) dipidana 2 tahun penjara jika tidak melaksanakan kewajiban upaya diversi (pengalihan ancaman pidana di bawah 7 tahun). “Nah dalam putusan MK tidak disinggung masalah kelangsungan diversi, apakah dilaksanakan atau tidak?”
“Mumpung UU SPPA ini berlakunya tahun 2014, mudah-mudahan DPR bisa mengsinkronkan UU SPPA ini sesuai dengan putusan MK ini,” harapnya.
Terpisah, Ketua Komisi III DPR I Gede Pasek Suardika menghargai putusan MK itu karena MK paling berhak menafsirkan semua isi dan makna undang-undang dan konstitusi. Meski begitu, menurutnya prinsip equality before the law sudah tidak berlaku lagi. “Profesi istimewa sudah lahir karena penegak hukum boleh salah dan melanggar kewenangannya dan tidak akan dihukum, sementara kalau yang lain boleh dihukum,” sindirnya.
Dia mengingatkan jangan salahkan jika masyarakat diperlakukan tidak adil oleh aparat penegak hukum. Lalu, mencari salurannya sendiri karena kesalahan dan pelanggaran HAM anak yang dilakukan penegak hukum tidak bisa dihukum. “Hukum dan hukumannya hanya berlaku untuk masyarakat saja,” tutupnya.
sumber: klikdisini

0 komentar :

Posting Komentar

BEM FH Unsoed

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Tamu BEM FH Unsoed

Flag Counter

Kategori